FAKTA GRUP – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih terus berupaya menemukan Gubernur Kalimantan Selatan, Sahbirin Noor (SHB), yang hingga saat ini keberadaannya belum diketahui. Sejumlah lokasi telah didatangi oleh KPK dalam upaya pencarian, namun Sahbirin belum ditemukan.
“Keberadaan SHB belum diketahui meskipun kami telah melakukan pencarian ke berbagai tempat,” ujar anggota Tim Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, saat dikonfirmasi di Jakarta, Rabu.
Menurut Budi, ketidakhadiran Sahbirin juga terlihat saat sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang berlangsung pada Selasa (5/11).
Meskipun Sahbirin sudah menerima Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) dari KPK, ia tetap tidak menampakkan diri.
KPK juga telah melakukan penggeledahan di beberapa lokasi yang diduga menjadi tempat persembunyiannya, termasuk di kantor, rumah dinas, dan rumah pribadinya, namun hasilnya masih nihil.
Hingga kini, tim penyidik terus memanggil dan memeriksa sejumlah saksi untuk menggali informasi mengenai keberadaan Sahbirin. Para saksi yang dipanggil berasal dari berbagai kalangan, mulai dari sopir pribadi Sahbirin hingga pejabat Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan dan pihak swasta.
Pada Selasa (8/10), KPK mengumumkan penetapan Sahbirin Noor sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap terkait pengadaan barang dan jasa untuk tiga proyek pembangunan di Provinsi Kalimantan Selatan. Selain Sahbirin, enam orang lainnya juga ditetapkan sebagai tersangka.
Di antara para tersangka tersebut adalah Kepala Dinas PUPR Kalimantan Selatan, Ahmad Solhan (SOL), Kepala Bidang Cipta Karya Dinas PUPR Kalimantan Selatan, Yulianti Erlynah (YUL), serta Bendahara Rumah Tahfidz Darussalam, Ahmad (AMD). Plt. Kabag Rumah Tangga Gubernur Kalimantan Selatan, Agustya Febry Andrean (FEB), juga turut terlibat.
Selain itu, dua tersangka lain yang berasal dari pihak swasta adalah Sugeng Wahyudi (YUD) dan Andi Susanto (AND). Kasus ini melibatkan tiga proyek besar, yakni pembangunan lapangan sepak bola di Kawasan Olahraga Terintegrasi Provinsi Kalimantan Selatan senilai Rp23 miliar, pembangunan Gedung Samsat Terpadu senilai Rp22 miliar, serta pembangunan kolam renang di kawasan yang sama senilai Rp9 miliar.
Para penyelenggara negara yang terlibat dalam kasus ini dijerat dengan berbagai pasal terkait tindak pidana korupsi, termasuk Pasal 12 huruf a atau b, Pasal 11, dan Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, serta juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Sedangkan, dua tersangka dari pihak swasta dikenai Pasal 5 ayat 1 huruf a atau b, atau Pasal 13 undang-undang yang sama.