Faktabandung.id, NASIONAL – Pemerintah membuka pintu bagi koperasi untuk mengelola pertambangan mineral dan batu bara, sebuah kebijakan yang memicu perdebatan sengit. Di satu sisi, langkah ini dipandang sebagai alat pemerataan ekonomi, namun di sisi lain, muncul kekhawatiran akan risiko penyelewengan oleh pemodal besar yang bersembunyi di baliknya.
Aturan main ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 39 Tahun 2025 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara yang terbit pada 11 September 2025. Melalui regulasi ini, koperasi seperti Koperasi Desa Merah Putih dan Usaha Kecil Menengah (UKM) berpeluang mendapatkan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) dengan luas maksimal 2.500 hektare.
Pemerintah memberikan skema prioritas bagi koperasi yang memenuhi kriteria legalitas dan keanggotaan, yang verifikasinya akan dilakukan langsung oleh kementerian terkait.
Menteri Koperasi, Ferry Juliantono, menyambut baik terobosan ini. Menurutnya, kebijakan tersebut dapat mendobrak dominasi perusahaan-perusahaan raksasa di sektor pertambangan.
“Kebijakan ini diharapkan dapat memberikan dampak ekonomi yang lebih besar bagi masyarakat, khususnya di wilayah dengan potensi tambang,” kata Ferry melalui keterangan tertulis pada 7 Oktober 2025.
Ferry juga menyoroti potensi kebijakan ini dalam meredam konflik. Ia mencontohkan kasus di Bangka Belitung, di mana ia mendukung pengelolaan tambang timah oleh Koperasi Desa Merah Putih sebagai solusi atas unjuk rasa penambang rakyat yang berujung ricuh beberapa waktu lalu. Dengan bergabung ke koperasi, penambang rakyat akan memiliki legalitas.
Sementara itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, menyatakan bahwa peraturan teknis mengenai kriteria koperasi pengelola tambang masih dalam tahap penyusunan. Ia menegaskan bahwa prioritas akan diberikan kepada koperasi lokal.
“Jangan yang di Jakarta…,” ujar Bahlil pada 8 Oktober 2025, menekankan bahwa koperasi yang berhak adalah yang berdomisili di sekitar wilayah tambang.
Risiko dan Kekhawatiran Para Ahli
Meski bertujuan mulia, sejumlah ahli mengingatkan adanya potensi bahaya. Aryanto, seorang pengamat pertambangan, menyoroti risiko yang mungkin timbul jika koperasi tidak memiliki keahlian yang memadai.
“Berisiko merugikan para anggotanya,” ujar Aryanto, merujuk pada potensi masalah mulai dari kecelakaan kerja, kerusakan lingkungan, korupsi, konflik sosial, hingga kerugian finansial akibat kebutuhan modal yang sangat besar.
Kekhawatiran serupa diungkapkan oleh Direktur Advokasi Pertambangan Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Wishnu Try Utomo. Menurutnya, pemerintah seharusnya fokus pada masalah yang sudah ada, seperti pemulihan lingkungan pascatambang.
“Akan berisiko jika izin tambang diberikan kepada lebih banyak pemain, seperti koperasi,” ucapnya.
Wishnu khawatir pengelolaan tambang oleh koperasi bisa menjadi modus bagi perusahaan besar untuk memperluas konsesi mereka secara terselubung. “Supaya punya lebih banyak kaki,” tambahnya. Ia juga menyinggung aspek keselamatan yang belum teruji, seraya mengingatkan tragedi longsor di tambang pasir milik koperasi di Cirebon pada Juni 2025 yang menewaskan 21 orang.
Jalan Tengah dan Syarat Ketat
Di tengah polemik ini, Wakil Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi), Resvani, menawarkan pandangan yang lebih seimbang. Ia setuju bahwa kebijakan ini bisa menjadi alat distribusi kekayaan, namun risikonya harus ditekan seminimal mungkin.
Resvani menyarankan agar pemerintah tidak memberikan izin untuk tambang berisiko tinggi seperti tambang bawah tanah kepada koperasi. Selain itu, ia mendesak adanya persyaratan teknis dan mekanisme pendanaan yang ketat, mengingat investasi di sektor ini tidak sedikit.
“Investasinya besar sekali,” pungkasnya, menyoroti luas WIUP yang dialokasikan mencapai 2.500 hektare.
Alokasi Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) Berdasarkan PP No. 39/2025:
- Koperasi dan UKM: Paling luas 2.500 hektare (mineral logam dan batu bara).
- Badan Usaha Milik Ormas Keagamaan: Paling luas 25.000 hektare (mineral logam) atau 15.000 hektare (batu bara).
- BUMN, BUMD, Swasta (Kerja Sama dengan Perguruan Tinggi): Paling luas 25.000 hektare (mineral logam) atau 15.000 hektare (batu bara).
- BUMN dan Swasta (untuk Penghiliran): Paling luas 25.000 hektare (mineral logam) atau 15.000 hektare (batu bara).