Mafia Tambang Kendalikan Perdagangan Emas Ilegal di Kalimantan Barat

Gambar Ilustrasi - Transaksi emas ilegal di belakang warung kopi, Bengkel, hingga Toko Emas menjadi modus kamuflase jaringan mafia tambang di Kalbar untuk mengelabui Aparat hukum dan publik. (Dok.Faktakalbar.id)

NASIONAL – mengungkap praktik mafia tambang yang diduga mengendalikan perdagangan emas ilegal di Kalimantan Barat (Kalbar), dengan dugaan dipimpin oleh sosok berinisial (AS). Jaringan ini menguasai rantai perdagangan emas hasil tambang tanpa izin (PETI) melalui strategi yang terorganisir dan beroperasi di berbagai wilayah Kalbar.

Para pemodal atau cukong meraup keuntungan besar dari perdagangan ini, sementara penambang kecil terus terjebak dalam risiko kerja yang tinggi. Menurut informasi yang dihimpun, (AS) diduga menjadi pengatur utama dalam jaringan ini, dengan menempatkan orang-orang kepercayaannya, seperti (EM), sebagai pengepul emas di beberapa kabupaten di Kalimantan Barat.

Monopoli yang Menghimpit Penambang Kecil

Jaringan ini memonopoli pasar emas ilegal dengan memaksa penambang untuk menjual emas mereka kepada jaringan ini jika ingin terhindar dari gangguan operasional atau ancaman lainnya. Seorang penambang yang enggan disebutkan identitasnya mengungkapkan, “Kalau kami jual ke luar, ada yang ganggu. Mau tak mau, kami serahkan ke mereka.”

Untuk memastikan dominasi pasar, jaringan ini membeli emas dengan harga yang lebih tinggi dibandingkan dengan pengepul kecil, yakni Rp15.000 hingga Rp20.000 lebih mahal per gram. Hal ini mematikan daya saing pengepul lokal dan memaksa mereka untuk menyerah pada sistem monopoli tersebut.

Harga Internasional Jadi Acuan, Keuntungan Menggiurkan

Harga emas yang dibeli oleh jaringan (AS) berada jauh di bawah harga pasar internasional. Berdasarkan data 7 April 2025, harga emas internasional tercatat Rp1.657.870 per gram, sementara emas yang dibeli oleh jaringan (AS) dari penambang berkisar antara Rp1.200.000 hingga Rp1.250.000 per gram.

Keuntungan besar didapatkan para cukong, karena setelah emas diproses dan dijual kembali, harga emas bisa mencapai Rp1.908.000 hingga Rp1.975.000 per gram di pasar lokal, tergantung jenis dan tempat penjualannya. Sementara itu, para penambang hanya menerima upah yang sangat kecil dengan risiko kerja yang tinggi, seperti menyedot emas dari sungai atau menggali di area yang rawan longsor.

Kamuflase di Berbagai Lokasi di Kalbar

Jaringan mafia tambang ini juga diduga menggunakan lokasi-lokasi tertentu sebagai kamuflase untuk menutupi asal-usul emas ilegal. Toko emas, bengkel, dan warung kopi di berbagai kabupaten/kota di Kalimantan Barat sering kali menjadi tempat transaksi terselubung. Emas mentah yang diproduksi oleh penambang dengan kadar 70-90% diduga diproses di tempat pemurnian sendiri dan disulap menjadi emas batangan dengan kadar 99,99%, yang kemudian dijual sebagai emas legal.

“Mereka punya tempat pemurnian sendiri. Emas PETI disulap jadi emas batangan, siapa yang tahu?” ungkap seorang sumber yang enggan disebutkan namanya.

Eksploitasi yang Menguntungkan Cukong, Merugikan Penambang

Perbedaan harga yang signifikan antara harga beli emas dari penambang dan harga jual di pasar internasional memberikan keuntungan fantastis bagi jaringan ini. Dengan volume transaksi tertentu, keuntungan yang didapatkan bisa mencapai puluhan miliar rupiah dalam satu siklus. Sementara itu, penambang hanya mendapatkan upah yang tak sebanding dengan risiko tinggi yang mereka hadapi.

Solusi yang Belum Jelas

Meskipun kegiatan PETI dilarang keras berdasarkan Undang-Undang No. 3 Tahun 2020, lemahnya penegakan hukum dan dugaan keterlibatan oknum membuat mafia tambang tetap berjaya. “Semua tahu ada cukong besar, tapi kok tak disentuh?” tanya seorang aktivis lokal dengan nada sinis.

Kerusakan lingkungan akibat PETI juga sangat signifikan, dengan sungai tercemar, hutan gundul, dan polusi merkuri yang merusak kesehatan masyarakat sekitar.

Hingga kini, jaringan mafia tambang ini diduga terus beroperasi dan menguasai perdagangan emas di Kalimantan Barat. Pertanyaan besar pun muncul: sampai kapan kekayaan alam Kalimantan Barat akan terus dikuasai oleh pemodal besar, sementara penambang kecil dan masyarakat sekitar hanya menjadi korban?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *